Berkenalan dengan Sunk Cost Fallacy dan Eskalasi Komitmen
Di artikel akuntansi kali ini saya tidak akan membahas hal-hal teknis. Justru saya akan membahas sebuah fenomena psikologi yang mungkin sering dialami oleh saya, Anda, akuntan, atau bahkan manajer. Fenomena ini tidak hanya terjadi di bidang akuntansi dan ekonomi, tapi juga di hal-hal sederhana dalam kehidupan kita. Perlu dicatat juga, apa yang dijelaskan di sini hanya berupa ringkasan untuk mempermudah pemahaman. Jadi untuk teman-teman mahasiswa yang memerlukan bahan tugas, setelah membaca artikel ini bisa mencari referensi pendukung lainnya.
Sunk cost fallacy adalah situasi di mana seseorang atau organisasi terus menerus melakukan satu atau upaya yang sia-sia. Saya menulis ‘sia-sia’ karena orang atau organisasi tersebut sudah mengetahui bahwa mereka tidak mungkin mencapai tujuan yang diharapkan. Mengapa mereka terus melakukan itu? Mereka terus menginvestasikan waktu, tenaga, dan sumber daya lainnya karena merasa sayang atau merugi jika usahanya tidak diteruskan.
Masih bingung dengan penjelasan di atas? Sunk cost fallacy akan lebih mudah dipahami dengan contoh kasus. Misalnya, ada seorang investor yang membeli saham perusahaan tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk. (kode sahamnya SRIL). Sebulan kemudian, harga saham SRIL turun 20%. Investor yang bersangkutan lalu memperoleh informasi bahwa SRIL digugat pailit karena tidak melunasi banyak utangnya. Tapi investor ini justru tetap memegang saham SRIL sampai akhirnya PT Sri Rejeki Isman Tbk. bangkrut dan ia kehilangan seluruh uangnya.
![]() |
| Logo PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) yang beberapa waktu lalu pailit |
Tentu dalam kasus tersebut, kita merasa pilihan menjual saham adalah pilihan yang tepat. Kenapa? Karena ia sudah tahu bahwa ada kemungkinan besar SRIL akan pailit (atau bahkan sampai bangkrut). Lalu mengapa investor itu tetap memegang saham SRIL? Jawabannya ada di 20% yang disebut di paragraf sebelumnya. Investor itu tidak ingin merasakan kerugian sebesar 20% yang diceritakan di awal, dan berharap harga sahamnya naik. Alhasil dia pegang terus saham SRIL padahal sudah jelas harga saham SRIL tidak mungkin naik lagi.
Contoh lainnya adalah saat seseorang pacaran. Seseorang (sebut saja namanya Budi) suka dengan seorang perempuan (sebut saja namanya Sita). Mereka berdua satu kelas tapi belum berpacaran. Budi selalu berusaha membahagiakan Sita dengan berbagai cara. Tak terhitung jumlah waktu, tenaga, dan uang yang sudah dikorbankan Budi untuk Sita. Ternyata Sita sendiri tidak suka dengan Budi. Dia sendiri lebih suka Reno. Akhirnya Sita pacaran dengan Reno. Budi sedih dengan apa yang terjadi. Tapi Budi masih berusaha untuk selalu membahagiakan Sita. Budi masih memberi Sita waktu, tenaga, maupun uang sebagaimana yang biasa Budi lakukan. Setiap malam ia selalu berharap agar Sita mau menjadi pacarnya. Budi selalu melakukan ini, walaupun sudah jelas dia tidak mungkin mendapatkan Sita. Setelah sekian tahun berjuang, Budi akhirnya melupakan Sita.
Pada contoh kedua, Budi sebenarnya sudah tahu bahwa dia tidak akan bisa mendapatkan Sita lagi. Tapi karena ia takut merasa rugi (karena ia sudah mencurahkan waktu, uang, dan tenaga) dan tidak mau menerima kenyataan (termasuk rasa sakit) atas peristiwa yang terjadi, ia terus melakukan upaya yang sia-sia. Pembaca sekalian pastinya setuju bahwa tindakan yang sebaiknya dilakukan Budi adalah mencari pacar baru dan melupakan Sita.
Sunk cost fallacy kadang menimbulkan eskalasi komitmen. Eskalasi komitmen adalah peningkatan upaya yang dilakukan oleh seseorang, walaupun ia tahu bahwa peningkatan itu tidak akan membawa perubahan apa apa (selain membuat dirinya tambah rugi). Jika Budi memberikan hadiah yang lebih mahal pada Sita, waktu yang lebih lama, dan tenaga yang lebih banyak pada Sita (setelah Sita pacaran dengan Reno tentunya), maka Budi melakukan eskalasi komitmen.
Lalu, bagaimana cara menghindari eskalasi komitmen? Ada banyak cara yang bisa dilakukan. Cara yang cukup mudah untuk dilakukan adalah dengan melakukan evaluasi secara rasional. Cara lainnya adalah dengan menerima. Misalnya jika Budi sudah gagal mendapatkan Sita, maka Budi harus menerima itu. Lalu, ia sebaiknya lanjut mencari pacar baru. Investor yang memegang saham SRIL tersebut seharusnya menerima kerugiannya. Lalu setelah menjual saham SRIL tersebut, ia bisa mencari saham lainnya, seperti saham AVIA atau AUTO.

Komentar
Posting Komentar